Memahami Al-Qur’ān, Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Hal tersebut menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Oleh karena itu, sebagai sumber yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis maksudnya adalah al-Qur’ān dapat berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur’ān mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang sebenarnya. Mutlak artinya al-Qur’ān tidak diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan. Adapun yang menjadi sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’ān, Hadis, dan Ijtihād.
AL-QUR’AN
1. Pengertian al-Qur’ān
Dari segi bahasa, al-Qur’ān berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan– qur’ānan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah Kalamullahyang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam musḥaf, dimulai dengan surah al-Fātiḥa¥ dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw
2. Kedudukan al-Qur’ān sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-Qur’ān merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Al-Qur’ān sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.
3. Kandungan Hukum dalam al-Qur’ān
Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a. Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānu imān), yaitu iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.
b. Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khāliq (Pencipta), yaitu Allah Swt. yang disebut ‘ibadah maḥḍah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu maḥḍah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa, dan lain sebagainya.
2) Hukum Mu’amalah
Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.
c. Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik berakhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt. yang lain. Pendeknya, berakhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara manusia dengan Allah Swt. hubungan antara manusia dan manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tercermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.
SUNNAH ATAU HADIST
1. Pengertian Hadis atau Sunnah
Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam. Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang ini
b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
c. Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.
2. Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’ān. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’ān, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: “... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Ḥasyr/59:7)
Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:
Artinya: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisā’/4:80)
Sekarang, kamu sudah paham tentang peran penting hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’ān, bukan? Mari kita lihat kedudukan hadis terhadap sumber hukum Islam pertama, yaitu al-Qur’ān.
3. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān
Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’ān kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān.
Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan menjadi
empat yaitu sebagai berikut:
a. Menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’ān yang masih
bersifat umum
b. Memperkuat
pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān
c. Menerangkan
maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’ān
d. Menetapkan
hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān
IJTIHAD
Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan Hadis
1. Pengertian Ijtihād
Kata ijtihād berasal bahasa Arab
ijtahada-yajtahidu ijtihādan
yang berarti mengerahkan segala kemampuan,
bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga,atau bekerja secara optimal. Secara
istilah, ijtihād adalah mencurahkan
segenap tenaga dan pikiran secara
sungguh-sungguh dalam menetapkan
suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād
dinamakan mujtahid
2. Syarat-Syarat berijtihād
Karena
ijtihād sangat bergantung pada
kecakapan dan keahlian para mujtahid,
dimungkinkan hasil ijtihād antara
satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum
yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihād dan menghasilkan hukum yang
tepat. Berikut beberapa syarat yang
harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād.
a. Memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam.
b. Memiliki pemahaman
mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir,
usul fikih, dan tarikh
c. Memahami cara merumuskan
hukum (istinbaţ).
d. Memiliki keluhuran
akhlak mulia.
3. Kedudukan Ijtihād
Ijtihād
memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ān dan hadis. Ijtihād
dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis. Namun demikian,
hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis.
4. Bentuk-Bentuk Ijtihād
Ijtihād
sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian,
yaitu sebagai berikut.
a. Ijma’
Ijma’
adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād
dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu
Ilahi yang berbentuk lembaran- lembaran
terpisah menjadi sebuah mus¥af al-Qur’ān
yang seperti kita saksikan sekarang ini.
b. Qiyas
Qiyas
adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah
terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān dan
hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka,
dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan
mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
(Q.S. al-Maidah/5:90)
c. Maślaĥah
Mursalah
Maślaḥah mursalah
artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan
dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at
Islam. Misalkan, seseorang wajib mengganti atau membayar
kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar
kesepakatan yang telah ditetapkan.
Pembagian Hukum Islam
Para ulama membagi hukum Islam ke dalam
dua bagian, yaitu hukum taklifi dan
hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang
berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah
Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.
Hukum Taklifi
Hukum
taklifi terbagi ke dalam lima bagian,
yaitu sebagai berikut.
a. Wajib
(farḍu), yaitu aturan Allah Swt. yang
harus dikerjakan, dengan konsekuensi
bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan
berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan
(surga), sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam
kesengsaraan (neraka). Misalnya, perintah wajib śalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
b. Sunnah
(mandub), yaitu tuntutan untuk
melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan
pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa.
Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa
Senin-Kamis, dan sebagainya.
c. Haram
(taḥrim), yaitu larangan untuk
mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan
tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan akan
mendapatkan dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan
Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang
dibalasnya di akhirat kelak. Misalnya
larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr,
larangan berzina, larangan berjudi, dan sebagainya.
d. Makruh
(Karahah), yaitu tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan. Makruh
artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah
jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan
mendapatkan pahala. Misalnya,
mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya.
e. Mubaḥ
(al-Ibaḥaḥ), yaitu sesuatu yang boleh
untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala
jika dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya
makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.