Jumat, 09 September 2022

CHadis tentang Pengendalian Diri, Prasangka Baik, dan Persaudaraan

     1.   Hadis tentang Pengendalian Diri

          Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:




        “Orang yang perkasa bukanlah orang yang menang dalam perkelahian, tetapi orang yang                     perkasa adalah orang yang mengendalikan dirinya ketika marah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

     2. Hadis tentang Prasangka Baik

        Rasulullah saw. bersabda:

       

      

        “Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan          yang paling dusta.” (H.R. Bukhari)

    3. Hadis tentang Persaudaraan

        Diriwayatkan  dari  Nu’man  bin  Basyir  ra.  bahwa  Rasulullah  saw. Bersabda:






“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi, seperti satu tubuh. Apabila satu organ tubuh merasa sakit, akan menjalar kepada     semua organ tubuh, yaitu tidak dapat tidur dan merasa demam.” (H.R. Muslim)

       Contoh perilaku yang mencerminkan sikap pengendalian diri, ĥusnużżan, dan persaudaraan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat sekitar, hingga masyarakat dunia

                  Pengendalian Diri (Mujāhadah an-Nafs)

1. Bersabar dengan tidak membalas terhadap ejekan atau cemoohan teman yang tidak suka terhadap kamu.

2.  Memaafkan kesalahan teman dan orang lain yang berbuat “aniaya” kepada kita.

3.  Ikhlas terhadap segala bentuk cobaan dan musibah yang menimpa, dengan terus berupaya memperbaiki diri dan lingkungan.

4. Menjauhi sifat dengki atau iri hati kepada orang lain dengan tidak membalas kedengkian mereka kepada kita

5Mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan Allah Swt. kepada kita, seta tidak merusak nikmat tersebut. Seperti menjaga lingkungan agar selalu bersih, menjaga tubuh dengan merawatnya, berolahraga, mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal, dan sebagainya.

Prasangka Baik (husnużżan)

1. Memberikan apresiasi atas prestasi yang dicapai oleh teman atau orang lain dalam bentuk ucapan atau pemberian hadiah.

2. Menerima dan menghargai pendapat teman/orang lain meskipun pendapat tersebut berlawanan dengan keinginan kita.

3. Memberi sumbangan sesuai kemampuan kepada peminta-minta yang datang ke rumah kita.

4. Turut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial baik di lingkungan rumah, sekolah, ataupun masyarakat.

5Mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepada kita dengan penuh tanggung jawab.

 Persaudaraan (Ukhuwwah)

 1Menjenguk/mendoakan/membantu teman/orang lain yang sedang sakit atau terkena musibah.

 2.  Mendamaikan teman atau saudara yang berselisih agar mereka sadar dan kembali bersatu.

 3. Bergaul dengan orang lain dengan tidak memandang suku, bahasa, budaya, dan agama yang dianutnya.

4. Menghindari segala bentuk permusuhan, tawuran, ataupun kegiatan yang dapat merugikan orang lain.

5Menghargai perbedaan suku, bangsa, agama, dan budaya teman/orang lain.

B. Ayat-Ayat al-Qur’ān tentang Pengendalian Diri, Prasangka Baik, dan Persaudaraan (ukhuwah)

1.    Q.S. al-Ḥujurāt/49:12

Lafal Ayat dan Artinya








“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”

2.   Q.S. al-Hujurāt/49:10

Lafal Ayat dan Artinya




“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah­ antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”

Kandungan Ayat

Pada ayat di atas Allah Swt. menegaskan ada dua hal pokok yang perlu diketahui. Pertama, bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Kedua, jika terdapat perselisihan antarsaudara, kita diperintahkan oleh Allah Swt. untuk melakukan iślah (upaya perbaikan atau perdamaian).

Apakah indikasi dari suatu persaudaraan? Rasulullah saw. bersabda,

“Demi Allah yang menguasai diriku! Seseorang di antara kalian tidak dianggap beriman kecuali jika dia menyayangi saudaranya sesama mukmin sama seperti dia menyayangi dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari)

Selain itu Rasulullah saw. juga menegaskan, “Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lain, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah.” (H.R.Bukhari)


BAB VI MENITI HIDUP DENGAN KEMULIYAAN

A.  Memahami Makna Pengendalian Diri, Prasangka Baik, Husnużżan dan Persaudaraan (Ukhuwah)

1.    Pengendalian Diri (Mujāhadah an-Nafs)

Pengendalian diri atau kontrol diri (Mujāhadah an-Nafs) adalah menahan diri dari segala perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan juga orang lain, seperti sifat serakah atau tamak. Dalam literatur Islam, pengendalian diri dikenal dengan istilah aś-śaum, atau puasa. Puasa adalah salah satu sarana mengendalikan diri. Hal tersebut berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang artinya: “Wahai golongan pemuda! Barangsiapa dari antaramu mampu menikah, hendaklah dia nikah, yang demikian itu amat menundukkan pemandangan dan amat memelihara kehormatan, tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia puasa, karena (puasa) itu menahan nafsu baginya.” (H.R. Bukhari)

Jadi, jelaslah bahwa pengendalian diri diperlukan oleh setiap manusia agar dirinya terjaga dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt.

2.    Prasangka Baik (Husnuzzan)

Prasangka baik atau ĥusnużżan berasal dari kata Arab, yaitu ĥusnu yang artinya baik, dan żan yang artinya prasangka. Jadi, prasangka baik atau positive thinking dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah ĥusnużżan. Istilah ĥusnużżan adalah sikap orang yang selalu berpikir positif terhadap apa yang telah diperbuat oleh orang lain. Lawan dari sifat ini adalah buruk sangka (su’użżan), yaitu menyangka orang lain melakukan hal-hal buruk tanpa adanya bukti yang benar. Dalam ilmu akhlak, ĥusnużżan dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu ĥusnużżan kepada Allah Swt. ĥusnużżan kepada diri sendiri, dan ĥusnużżan kepada orang lain. Prasangka baik adalah sifat yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang yang beriman. Sebaliknya, prasangka buruk adalah sifat yang harus dijauhi dan dihindari.

3.    Persaudaraan (ukhuwwah)

Persaudaraan (ukhuwwah) dalam Islam dimaksudkan bukan sebatas hubungan kekerabatan karena faktor keturunan, tetapi yang dimaksud dengan persaudaraan dalam Islam adalah persaudaraan yang diikat oleh tali aqidah (sesama muslim) dan persaudaraan karena fungsi kemanusiaan (sesama manusia makhluk Allah Swt.). Kedua persaudaraan tersebut sangat jelas dicontohkan oleh Rasulullah saw., yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anșar, serta menjalin hubungan persaudaraan dengan suku-suku lain yang tidak seiman dan melakukan kerja sama dengan mereka.


B.  Hikmah Beriman kepada Malaikat

Orang-orang yang beriman selalu dapat mengambil pelajaran dari materi yang diimani. Dalam hal beriman kepada malaikat-malaikat Allah Swt., pelajaran yang dapat dipetik antara lain adalah sebagai berikut.

1.    Menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt

2.    Senantiasa hati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatan sebab segala apa yang dilakukan manusia tidak luput dari pengamatan malaikat Allah Swt.

3.    Menambah kesadaran terhadap alam mengenai wujud yang tidak terjangkau oleh pancaindra manusia.

4.    Menambah rasa syukur kepada Allah Swt. karena melalui malaikat-malaikat-Nya, manusia memperoleh banyak karunia.

5.    Menambah semangat dan ikhlas dalam beribadah walaupun tidak dilihat oleh orang lain ketika melakukannya.

6.    Menumbuhkan cinta kepada amal saleh karena malaikat selalu siap mencatat amal manusia.

7.    Semakin giat dalam berusaha karena tidak ada rezeki yang diturunkan oleh malaikat Allah Swt. tanpa usaha dan kerja keras.

BAB V MALAIKAT SELALU BERSAMAKU

A.  Memahami Makna Iman kepada Malaikat dan Tugas-tugasnya

1. Pengertian Iman kepada Malaikat

Iman secara bahasa artinya percaya atau yakin. Iman dari segi istilah artinya meyakini setulus hati yang mengakar kuat, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan seluruh anggota badan. Menurut M. Quraish Shihab, kata malaikat berasal dari bahasa Arab, yaitu malā’ikah yang merupakan bentuk jamak dari kata malak  yang terambil dari kata la’aka  yang berarti “menyampaikan sesuatu”. Jadi, malak/malaikat adalah makhluk yang menyampaikan sesuatu dari Allah Swt.. Menurut istilah, malaikat adalah makhluk gaib yang diciptakan oleh Allah Swt. dari cahaya, sebagai utusan Allah Swt. yang taat, patuh, serta tidak pernah membangkang terhadap perintah-perintah-Nya.

Iman kepada malaikat adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt. menciptakan malaikat sebagai makhluk gaib yang diutus untuk melaksanakan segala perintah-Nya. Orang yang mengimaninya akan senantiasa menggunakan seluruh anggota badannya untuk berhati-hati dalam berkata-kata dan berbuat.

2.    Hukum Beriman kepada Malaikat

Beriman kepada malaikat hukumnya adalah far«u ‘ain. Beriman kepada malaikat merupakan salah satu rukun iman selain iman kepada Allah Swt., kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qada/qadar. Hal ini berdasarkan pada beberapa sumber dari al-Qur’ān dan hadis sebagai berikut.

a.    Q.S. al-Baqarah/2:285






Artinya: “Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’ān) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya, Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.”

3.    Penciptaan Malaikat

Mengingat sedikitnya pengetahuan yang dimiliki manusia terutama berkaitan dengan hal-hal yang gaib termasuk malaikat, sumber yang dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui malaikat dengan berpedoman kepada al-Qur’ān dan hadis-hadis Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda:






Artinya: “Dari Aisyah berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian.” (HR. Muslim)

2.                  4. Perbedaan antara Malaikat, Manusia, dan Jin

Dari segi asalnya, malaikat berbeda dengan manusia dan jin, yaitu bahwa malaikat diciptakan dari nur atau cahaya sementara manusia dan jin masing-masing diciptakan dari tanah dan api.

3.                5. Jumlah Malaikat

Karena sifatnya gaib, berapa jumlah malaikat secara terinci sebagaimana manusia, hanya Allah Swt. dan Rasul-Nya yang mengetahui. Namun demikian, keterangan hadis berikut dapat memberikan penjelasan tentang banyaknya jumlah malaikat. Hadis berikut menggambarkan banyaknya jumlah malaikat. Perhatikan hadis dari Ali ra.







Artinya: Dari Ali ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mengunjungi saudaranya sesama muslim maka seakan ia berjalan di bawah pepohonan surga hingga ia duduk, jika telah duduk maka rahmat akan melingkupinya. Jika mengunjunginya di waktu pagi, maka tujuh puluh ribu malaikat akan bersalawat kepadanya hingga sore hari, dan jika ia mengunjunginya di waktu sore, maka tujuh puluh ribu malaikat akan bersalawat kepadanya hingga pagi hari.” (H.R. Ibnu Majah)

Banyaknya jumlah malaikat tersebut menggambarkan betapa Mahakuasa Allah Swt. karena dengan jumlah malaikat yang demikian banyak, sangat mudah bagi Allah Swt. untuk mengetahui gerak-gerik serta tingkah laku manusia. Namun demikian, umat Islam diperintahkan untuk mengetahui dan mengimani sepuluh nama malaikat berikut tugasnya.







Menerapkan Perilaku Mulia

Perilaku mulia dari pemahaman terhadap al-Qur’ān, hadis, dan ijtihād sebagai sumber hukum Islam tergambar dalam aktivitas sebagai berikut.

1.    Gemar membaca dan mempelajari al-Qur’ān dan hadis baik ketika sedang sibuk ataupun santai.

2.    Berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis.

3.    Selalu mengkonfirmasi segala persoalan yang dihadapi dengan merujuk kepada al-Qur’ān dan hadis, baik dengan mempelajari sendiri atau bertanya kepada yang ahli di bidangnya.

4.    Mencintai orang-orang yang senantiasa berusaha mempelajari dan meng­ amalkan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.

5.    Kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus berupaya agar tidak keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.

6.    Membiasakan diri berpikir secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’ān dan hadis.

7.    Aktif bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian agama dan berakhlak mulia.

8.    Berhati-hati dalam bertindak dan melaksanakan sesuatu, apakah hal tersebut boleh dikerjakan ataukah hal tersebut boleh ditinggalkan.

9.    Selalu berusaha keras untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan dan menjauhi segala larangan.

10.     Membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya untuk menyempurnakan ibadah wajib karena khawatir belum sempurna.

BAB IV AL-QURAN DAN HADIST ADALAH PEDOMAN HIDUPKU

 Memahami Al-Qur’ān, Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum Islam

Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Hal tersebut menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Oleh karena itu, sebagai sumber yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis maksudnya adalah al-Qur’ān dapat berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur’ān mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang sebenarnya. Mutlak artinya al-Qur’ān tidak diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan. Adapun yang menjadi sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’ān, Hadis, dan Ijtihād.

AL-QUR’AN

1.    Pengertian al-Qur’ān

Dari segi bahasa, al-Qur’ān berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan– qur’ānan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah Kalamullahyang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam musḥaf, dimulai dengan surah al-Fātiḥa¥ dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw

2.    Kedudukan al-Qur’ān sebagai Sumber Hukum Islam

Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-Qur’ān merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Al-Qur’ān sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.

3.    Kandungan Hukum dalam al-Qur’ān

Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.

a.    Akidah atau Keimanan

Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānu imān), yaitu iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.

b.    Syari’ah atau Ibadah

Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khāliq (Pencipta), yaitu Allah Swt. yang disebut ‘ibadah maḍah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu maḍah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.

1)   Hukum Ibadah

Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa, dan lain sebagainya.

2)   Hukum Mu’amalah

Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.

c.    Akhlak atau Budi Pekerti

Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik berakhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt. yang lain. Pendeknya, berakhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara manusia dengan Allah Swt. hubungan antara manusia dan manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tercermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.

SUNNAH ATAU HADIST

1. Pengertian Hadis atau Sunnah

Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam. Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut.

a.     Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang ini

b.    Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.

c.     Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.

2. Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam

Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’ān. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’ān, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:


Artinya: “... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Ḥasyr/59:7)

Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:



Artinya: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisā’/4:80)

Sekarang, kamu sudah paham tentang peran penting hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’ān, bukan? Mari kita lihat kedudukan hadis terhadap sumber hukum Islam pertama, yaitu al-Qur’ān.

3.      Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān

Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’ān kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān.

Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut:

               a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum

               b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān

               c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’ān

               d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān

IJTIHAD

Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan Hadis

1.    Pengertian Ijtihād

Kata ijtihād berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu ijtihādan yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga,atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihād adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād dinamakan mujtahid

2.    Syarat-Syarat berijtihād

Karena ijtihād sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihād antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihād dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād.

        a. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.

        b. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh 

        c.  Memahami cara merumuskan hukum (istinbaţ).

        d. Memiliki keluhuran akhlak mulia.

3.    Kedudukan Ijtihād

Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ān dan hadis. Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis.

4.    Bentuk-Bentuk Ijtihād

Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam     beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.

a.    Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran- lembaran terpisah menjadi sebuah mus¥af al-Qur’ān yang seperti kita saksikan sekarang ini.

b.   Qiyas

Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:



Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)

c.    Maślaĥah Mursalah

Maślaḥah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at Islam. Misalkan, seseorang wajib mengganti atau membayar kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.

Pembagian Hukum Islam

Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.

Hukum Taklifi

Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, yaitu sebagai berikut.

a.   Wajib (farḍu), yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan (surga), sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya, perintah wajib śalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.

b.    Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.

c. Haram (taḥrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan akan mendapatkan dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak. Misalnya larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina, larangan berjudi, dan sebagainya.

d.  Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya, mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya.

            e.    Mubaḥ (al-Ibaḥaḥ), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan.             Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti,                 minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.



C .  Hadis tentang Pengendalian Diri, Prasangka Baik, dan Persaudaraan        1.    Hadis tentang Pengendalian Diri              Diriwayatka...